Strategi Hadapi Dampak Kebijakan DFP oleh Uni Eropa Terhadap Komoditas Kelapa Sawit Indonesia

Implementasi kebijakan produk bebas deforestasi (deforestation-free product/DFP) membawa tantangan besar bagi Indonesia.

Strategi Hadapi Dampak Kebijakan DFP oleh Uni Eropa Terhadap Komoditas Kelapa Sawit Indonesia
Para pekerja di pabrik kelapa sawit.

Kebijakan baru Uni Eropa (2023/1115) mengenai produk bebas deforestasi (deforestation-free product/DFP), yang merupakan bagian dari Green Deal, bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta mencegah kehilangan keanekaragaman hayati. Kebijakan ini mengedepankan konsumsi produk yang tidak berkontribusi pada deforestasi, yang berdampak langsung pada sektor kelapa sawit di Indonesia.

Melansir laman European Commission, peraturan tersebut merupakan bagian dari rencana aksi yang lebih luas untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan yang pertama kali diuraikan dalam Komunikasi Komisi 2019 tentang Peningkatan Aksi Uni Eropa untuk Melindungi dan Memulihkan Hutan Dunia.

Implementasi kebijakan ini, yang dimulai pada Mei 2023 dan akan berlaku penuh pada Desember 2024 bagi perusahaan besar serta Juni 2025 untuk UMKM, membawa tantangan besar bagi Indonesia. Salah satu tantangan terbesar adalah risiko penilaian kategori tinggi oleh Uni Eropa yang akan mengharuskan Indonesia memenuhi persyaratan ketat agar produk sawitnya dapat terus memasuki pasar Eropa.

Selain itu, Indonesia harus menangani isu country benchmarking, geolokasi, pengembangan kapasitas petani, dan inklusivitas dalam penerapan kebijakan ini (Dr. Ir. Delima H. A. Darmawan, M.Si; Dr. Ir. Saktyanu K. Dermoredjo, M.Si.;Dr. Iwan Hermawan, S.P., M.Si; Dian Dwi Laksani, S.E., M.S.E.; Rizky Eka Putri, S.E., M.Sc.; Steven Raja Ingot, S.E., M.E; Aldy Nofansya, S.H.Int., 2024 dalam penelitian berjudul Analisis Potensi Dampak Kebijakan Deforestation-Free Product (DFP) oleh Uni Eropa Terhadap Komoditas Kelapa Sawit di Indonesia).

Penelitian yang dilakukan oleh Darmawan, et.al., (2024) yang didanai oleh BPDP dalam 8th Pekan Riset Sawit Indonesia (PERISAI) menemukan bahwa kebijakan DFP berpotensi menjadi hambatan non-tarif (NTB) bagi Indonesia, khususnya dalam ekspor produk kelapa sawit dan biodiesel ke Uni Eropa.

Pada tahun 2026, ekspor kelapa sawit diperkirakan akan menurun sebesar 8,69%, meskipun penurunan ini diprediksi berangsur-angsur mengecil hingga 6,39% pada tahun 2040. Penurunan ekspor ini akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja, investasi, dan kesejahteraan ekonomi Indonesia selama periode awal penerapan kebijakan DFP (Darmawan, et.al., 2024).

Kebijakan DFP diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap kondisi makroekonomi Indonesia, seperti kontraksi ekspor, penurunan PDB, dan penurunan kesejahteraan masyarakat terutama petani sawit. Meskipun pangsa ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa hanya sekitar 9-10%, posisi Uni Eropa sebagai rule setting country membuat DFP menjadi perhatian global.

Indonesia perlu berhati-hati karena regulasi ini dapat mempengaruhi reputasi produk sawit di pasar internasional mengingat bahwa banyak negara lain yang mulai mengadopsi standar serupa (Darmawan, et.al., 2024).

Di sisi lain, Indonesia dapat menjalin kerja sama dengan negara-negara terdampak DFP lainnya untuk memperkuat posisi negosiasi dengan EU dan WTO mengenai aturan-aturan yang dianggap diskriminatif dan unilateral. Pelaku usaha kelapa sawit Indonesia perlu melihat kebijakan DFP sebagai wake-up call untuk memperbaiki tata kelola industri, meningkatkan transparansi, memperkuat keberlanjutan, dan mengoptimalkan traceability rantai produksi, terutama untuk smallholders yang perlu dukungan peningkatan kapasitas, mengingat infrastruktur yang masih buruk, pemahaman standar produk minim, dan akses pembiayaan terbatas (Darmawan, et.al., 2024).

Langkah-langkah ini tidak hanya penting untuk menjaga akses pasar Eropa, tetapi juga untuk mempertahankan daya saing di pasar global yang semakin peduli pada isu lingkungan.

Langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah memperluas pengumpulan data, terutama melalui diskusi dengan pemangku kepentingan di wilayah-wilayah dengan tingkat produksi kelapa sawit yang tinggi. Pemangku kepentingan tersebut meliputi pemerintah daerah, pelaku usaha, kelompok petani, akademisi, dan lainnya.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan data yang komprehensif guna menyusun rekomendasi kebijakan dan strategi yang matang bagi perdagangan bilateral antara Indonesia dan Uni Eropa (Darmawan, et.al., 2024).

Dari penjelasan tersebut, Darmawan, et.al., (2024) menyimpulkan tiga strategi utama yang dapat dilakukan dalam menghadapi kebijakan DFP Uni Eropa tersebut, yaitu:

- Strategi Short Run → produksi kelapa sawit di kawasan hutan diperuntukkan bagi pasar domestik;
- Strategi Medium Run → Indonesia dapat memberikan tekanan ke Uni Eropa dengan menggalang like minded countries (LMCs) dan persisten meminta kejelasan prosedur DFP, mulai peta, country benchmarking, dan traceability melalui tagging geolocation;
- Strategi Long Run → Kejelasan status 1/5 dari total luas kelapa sawit yang di kawasan hutan dengan harmonisasi regulasi dan mengakselerasi ISPO dengan insentif.