KTT Hari Bumi dan Peran ISPO

KTT Hari Bumi dan Peran ISPO
Dok. HORTUS ARCHIPELAGO

Pada penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau KTT Hari Bumi yang diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden secara virtual, ada dua agenda yang memiliki relevansi langsung dengan komunitas kelapa sawit.

Bertepatan dengan peringatan Hari Bumi pada 22 April 2021 lalu, Presiden Joe Biden telah mengundang segenap pemimpin dunia ke pertemuan virtual tentang perubahan iklim. Amerika Serikat berada dalam posisi penting secara internasional setelah pemerintahan Donald Trump menarik diri dari perjanjian iklim PBB di Paris. Presiden Indonesia Jokowi ikut menghadiri KTT Hari Bumi tersebut. KTT ini dihadiri 40 pemimpin dunia, termasuk delapan dari Uni Eropa. Sementara hanya tiga peserta yang berasal dari Asia Tenggara, yakni Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Tidak seperti konferensi sebelumnya, penekanannya tidak terlihat pada hutan. Hal ini dalam beberapa hal mengecewakan Indonesia dan komunitas kelapa sawit. Rekor Indonesia baru-baru ini dalam mengurangi deforestasi sangat mengesankan dan layak dibagikan.

Dalam pidatonya, Jokowi menyampaikan tiga pandangan terkait dengan isu perubahan iklim. Pertama, Jokowi menegaskan bahwa Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata.

Dia mengklaim, melalui kebijakan, pemberdayaan, dan penegakkan hukum, laju deforestasi Indonesia saat ini turun terendah dalam 20 tahun terakhir. “Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut mencapai 66 juta hektar, lebih luas dari gabungan luas Inggris dan Norwegia. Penurunan kebakaran hutan hingga sebesar 82 persen di saat beberapa kawasan di Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terluas,” papar Jokowi. Namun demikian, ada dua agenda yang memiliki relevansi langsung dengan komunitas kelapa sawit. Dan ada dua tanggapan kebijakan yang jelas yang harus dipertimbangkan oleh komunitas kelapa sawit di Indonesia dan di negara lain sebagai dorongan kebijakan yang sah di forum seperti Hari Bumi, serta forum lainnya.

Item pertama adalah “Memobilisasi keuangan sektor publik dan swasta untuk mendorong transisi nol-bersih dan untuk membantu negara-negara yang rentan dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim.” Pertanian berkelanjutan dan rendah emisi umumnya belum cukup menjadi item prioritas tinggi dalam pendanaan iklim. Bank Dunia menyebutkan bahwa dari US$400 miliar pendanaan iklim yang dimobilisasi pada tahun 2014, hanya US$8 miliar untuk pertanian. Padahal, petani kecil merupakan kelompok yang paling rentan dalam hal terkena dampak dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, dukungan untuk meningkatkan praktik keberlanjutan melalui penerapan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) adalah ‘win-win solution’. Ini diyakini dapat mengurangi emisi dan membantu komunitas yang rentan. Beberapa negara di Eropa, seperti pemerintah Swiss, telah menyampaikan dukungannya terhadap penggunaan sertifikasi untuk komoditas sawit. Badan Dunia seperti UNDP telah menyatakan dukungannya untuk ISPO. USAID telah memberikan beberapa dukungan untuk revisi ISPO, dan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam implementasinya.

Item kedua adalah “Pentingnya memastikan semua komunitas dan pekerja mendapatkan manfaat dari transisi ke ekonomi penggunaan energi bersih yang baru.” Dalam pandangan masyarakat kelapa sawit, salah satu hambatan utama transisi ini adalah pemilihan tanaman yang tidak berkelanjutan dengan kedok ‘energi bersih’. Ambil contoh adalah dukungan berkelanjutan Uni Eropa untuk komoditas rapeseed (lobak) dan penolakannya terhadap minyak sawit sebagai bahan baku industri.

Padahal, di berbagai publikasi ilmiah, masukan yang dibutuhkan untuk produksi lobak dalam hal energi, pupuk, pestisida jauh melebihi minyak sawit yang dikenal sangat efisien. Selain itu, sebuah studi yang dirilis tahun lalu tentang dampak rapeseed di Czechia menyatakan bahwa “adopsi rapeseed tidak mendukung tujuan mengembangkan lanskap pertanian yang berkelanjutan.”

Terakhir, ada satu kebijakan tambahan yang relevan dengan agenda Hari Bumi dan minyak sawit: “Memacu teknologi transformasi yang dapat membantu mengurangi emisi dan beradaptasi dengan perubahan iklim, sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru yang sangat besar dan membangun industri masa depan.”

Dalam hal pengurangan emisi, pemerintah Indonesia sangat aktif dalam pencegahan kebakaran dan pemadaman kebakaran hutan. Ini termasuk moratorium pemakaian lahan gambut yang diterapkan Presiden Jokowi serta undang-undang lebih lanjut yang memastikan penegakan hokum dalam pengelolaan lahan gambut. Apalagi, organisasi internasional seperti WRI Forest Watch Fires menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah penyebab utama kebakaran hutan.

Teknologi transformasi tidak akan terjadi tanpa investasi. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk membuat kebijakan baru yang lebih “liberal” untuk mendorong kegiatan investasi di negaranya. Pemerintah Indonesia, dan khususnya Kementerian Pertanian, telah menjadi pendukung Smart Farming 4.0, yang mencakup serapan teknologi untuk minyak sawit. Ini melampaui peningkatan produktivitas dan juga mencakup peningkatan keberlanjutan seperti lacak balak.

Dan perlu diingat pula bahwa pertanian berkelanjutan membutuhkan investasi. Memblokir investasi sama artinya dengan melawan keberlanjutan; mendukung investasi berarti mendukung keberlanjutan. Komunitas kelapa sawit Indonesia percaya bahwa Hari Bumi memberikan peluang untuk menciptakan emisi yang lebih rendah, investasi yang lebih kuat, dan pertanian yang lebih cerdas, melalui penerapan ISPO. Dan ini akan mengantarkan terwujudnya industri minyak sawit yang berkelanjutan di masa depan. ***