Kembali ke Sejarah, Melihat Perkembangan Mutakhir Industri Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

Tahun 1911 dianggap sebagai sejarah awal perkebunan kelapa sawit komersial di Indonesia.

Kembali ke Sejarah, Melihat Perkembangan Mutakhir Industri Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Ilustrasi salah satu perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Industri perkebunan sawit Indonesia memiliki sejarah sangat panjang sejak masa kolonial. Berawal dari empat benih kelapa sawit yang dibawa oleh Dr. D. T. Pryce, yang terdiri dari dua benih Bourbon-Mauritius dan dua benih dari Amsterdam (jenis Dura) untuk dijadikan sebagai tumbuhan koleksi Kebun Raya Bogor pada tahun 1848 (Hunger, 1924; Rutgers et.al., 1922).

Biji kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor tersebut, kemudian disebarkan untuk ditanam menjadi tanaman hias (ornamental) sekaligus "uji lokasi" di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Sumatera khususnya di perkebunan tembakau Deli.

Melansir laman PASPI (2025) berjudul Industri Sawit Indonesia: Perkembangan Mutakhir diketahui, uji coba pembudidayaan kelapa sawit dilakukan di distrik Deli oleh Deli Maatschappij pada tahun 1878 dengan kebun seluas 0,4 hektare.

Manajer Deli Maatschappij, J. Kroll, melaporkan hasil uji coba tersebut cukup menggembirakan di mana produktivitas tanaman kelapa sawit lebih baik dibandingkan perkebunan di Afrika Barat sebagai habitat asalnya.

Setelah uji coba pembudidayaan tersebut berkembang cukup pesat, perkebunan kelapa sawit kemudian diusahakan secara komersial pertama kali pada tahun 1911 oleh perusahaan Belgia di Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh). Hal ini menjadikan tahun 1911 dianggap sebagai sejarah awal perkebunan kelapa sawit komersial di Indonesia.

Lebih lanjut dijelaskan PASPI (2025), selain perusahaan Belgia, perusahaan Jerman juga membuka usaha perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu pada tahun yang sama. Langkah investor Belgia dan Jerman kemudian diikuti oleh investor Belanda dan Inggris.

Jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit terus berkembang dari 19 perusahaan pada tahun 1916 meningkat menjadi 34 perusahaan pada tahun 1920. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama di Indonesia dibangun di Sungai Liput (1918), kemudian di Tanah Itam Ulu (1922).

Selama masa kolonial hingga era Orde Lama, perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh dinamika politik di Indonesia. Proses perubahan kekuasaan dari Pemerintah Kolonial kepada Pemerintah Indonesia juga disertai dengan proses nasionalisasi perkebunan milik kolonial dan swasta asing yang kemudian menjadi cikal-bakal badan usaha milik negara (BUMN) perkebunan di Indonesia (PASPI, 2025).

Sementara itu, untuk mengakselerasi perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia, pemerintah memberikan dukungan kebijakan untuk penguatan perkebunan besar swasta nasional (PBSN) yakni PBSN I (1977-1978), PBSN II (1981-1986), dan PBSN III (1986-1990).

Dalam kebijakan tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan fasilitas kredit murah kepada PBSN untuk merehabilitasi kebun eksisting maupun pembukaan perkebunan kelapa sawit baru (PASPI, 2025).

Pada tahun 1977, Pemerintah Indonesia berkolaborasi dengan World Bank, Asian Development Bank (ADB), Germany Government Donor Agency (KfW), dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) untuk membangun proyek NES (Nucleus Estate and Smallholders) atau PIR (Perkebunan Inti Rakyat).

PIR/NES merupakan model perkebunan kelapa sawit hasil sinergi antara petani dengan korporasi. Keberhasilan uji coba NES/PIR (I-IV) tersebut, kemudian dikembangkan menjadi berbagai model/pola pada perkebunan kelapa sawit Indonesia (Badrun, 2010; Sipayung, 2011; Kasryno, 2015; PASPI, 2022).

1. Pola PIR Khusus dan PIR Lokal dimulai sejak tahun 1980. Program tersebut merupakan kelanjutan dari proyek NES/PIR yang mendapat dukungan pembiayaan dari World Bank. Pola PIR Khusus dan PIR lokal dikaitkan dengan program pengembangan ekonomi lokal/daerah;

2. Pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) dikembangkan sejak tahun 1986 dikaitkan dengan program transmigrasi. PIR-Trans mengembangkan pola kerja sama antara perusahaan perkebunan negara dan swasta sebagai inti dengan masyarakat transmigran sebagai plasma;

3. Pola PIR Koperasi Primer Para Anggota (PIR-KPPA) yang dimulai sejak tahun 1996. Pola ini dikembangkan untuk mengintegrasikan pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan koperasi. Perusahaan perkebunan kelapa sawit negara dan swasta berperan sebagai inti, sedangkan petani sawit yang tergabung dalam koperasi berperan sebagai plasma;

4. Pola Kemitraan yang dikembangkan sejak tahun 1999. Melalui pola ini, perusahaan perkebunan kelapa sawit negara dan swasta harus mengalokasikan minimum 20 persen dari total area perkebunannya untuk pengembangan kebun masyarakat. Model ini dapat berupa pengelolaan kebun satu siklus dalam satu manajemen oleh perusahaan perkebunan, atau dapat juga berupa BOT (build, operation, and transfer) yang kemudian dikonversikan kepada para petani;

5. Kebijakan Kemitraan Revitalisasi Perkebunan (Revit-Bun) yang dikembangkan sejak tahun 2006. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah menyediakan fasilitas kredit (subsidi bunga kredit) yang dikaitkan dengan pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan.

Dikatakan PASPI (2025), berbagai pola PIR yang dilaksanakan pemerintah tersebut menjadi pintu masuk keikutsertaan rakyat dalam perkebunan kelapa sawit nasional.

Rangkaian kebijakan dan program PIR tersebut, bukan hanya berhasil mengembangkan perkebunan rakyat sebagai peserta PIR (petani plasma), tetapi juga merangsang dan meyakinkan petani lain (di luar plasma) untuk masuk dan berinvestasi pada perkebunan kelapa sawit secara mandiri yang kemudian dikenal dengan petani swadaya.

Dukungan kebijakan pemerintah pusat dan daerah (desentralisasi), baik melalui implementasi berbagai model PIR dan kemitraan maupun dukungan tata kelola perizinan, telah berhasil mengakselerasi perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Sipayung, 2025).

Bukti dari keberhasilan tersebut adalah terjadi perluasan luas perkebunan kelapa sawit Indonesia dari sekitar 294,5 ribu hektare pada tahun 1980 menjadi sekitar 16,38 juta hektare pada tahun 2021. Demikian juga dengan volume produksi CPO meningkat dari sekitar 721,2 ribu ton menjadi 49,7 juta ton pada periode yang sama.

Selain pertumbuhannya yang revolusioner, hal lain yang mengesankan adalah pertumbuhan perkebunan kelapa sawit rakyat yang relatif cepat. Selama periode tahun 1980-2021, pangsa perkebunan kelapa sawit rakyat meningkat dari hanya sekitar 2 persen menjadi 40 persen. Pangsa perkebunan kelapa sawit swasta juga meningkat dari 30 persen menjadi 56 persen.

Sementara itu, meskipun luas perkebunan kelapa sawit negara secara absolut meningkat, namun pangsanya menurun dari 68 persen menjadi 4 persen (Kementerian Pertanian RI, data diolah PASPI, 2022).