Pengaruh Depresiasi Rupiah Terhadap Harga CPO di Pasar Global

INFLASI global telah menyebabkan nilai dolar AS terhadap banyak mata uang di dunia menguat, tak terkecuali terhadap rupiah. Saat ini tercatat nilai tukar rupiah terhadap US dolar AS menurun sampai dengan level Rp14.900 pada September 2018. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberikan dampak pada kenaikan harga di hampir seluruh produk dalam negeri, terutama produk-produk impor.

Pengaruh Depresiasi Rupiah Terhadap Harga CPO di Pasar Global
INFLASI global telah menyebabkan nilai dolar AS terhadap banyak mata uang di dunia menguat, tak terkecuali terhadap rupiah. Saat ini tercatat nilai tukar rupiah terhadap US dolar AS menurun sampai dengan level Rp14.900 pada September 2018. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberikan dampak pada kenaikan harga di hampir seluruh produk dalam negeri, terutama produk-produk impor. Bagaimana dengan harga jual minyak sawit yang notabene adalah komoditas ekspor unggulan yang memberikan nilai tambah devisa yang besar bagi negara. Apakah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat meningkatkan daya saing minyak sawit di pasar global dan pada akhirnya meningkatkan harga jual ekspor di pasar global? ``Sumber: Bank Indonesia dan Palmoilanalytics Meningkatkan Harga CPO Menurut teori kuantitas uang, harga suatu barang berbanding lurus dengan jumlah uang yang beredar. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat menstimulus permintaan luar negeri terhadap minyak sawit lokal dikarenakan nilai jual yang lebih murah. Peningkatan permintaan terhadap produk dalam negeri tersebut berdampak pada meningkatnya arus masuk dolar AS ke dalam negeri dan akhirnya meningkatkan harga jual minyak sawit itu sendiri. Minyak sawit merupakan produk dalam negeri yang sebagian besar biaya produksi didominasi mata uang rupiah dan diperdagangkan di pasar ekspor dalam mata uang dolar AS. Terpaparnya risiko nilai tukar atas transaksi ekspor minyak sawit memberikan sejumlah keuntungan bagi industri dalam negeri, terutama disaat kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah. Sejak awal 2018, harga CPO mengalami tren penurunan kembali setelah sempat pulih dari tren penurunan di 2015. Harga jual rata-rata CPO di pasar Rotterdam pada Agustus 2018 mencapai level US$559/MT, menurun sebesar 4,77% dari bulan sebelumnya sebesar US$588/MT atau sebesar 17,06% dari tahun sebelumnya yang sebesar US$674/MT (yoy). Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang melemah sejak awal 2018 sebesar 9,96% tidak memberikan dorongan bagi peningkatan harga jual minyak sawit di pasar global. Penurunan harga jual CPO disebabkan beberapa faktor fundamental lain seperti peningkatan produksi kebun nasional seiring masa produktif umur pohon sawit, penurunan harga jual kedelai AS, perang dagang, dan kegagalan produksi rapeseed di pasar Eropa. Produksi Domestik yang Masif Sampai dengan Juli 2018, produksi minyak sawit nasional mencapai 24,1 juta MT. Angka tersebut meningkat 112% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang memproduksi sekitar 21,5 juta MT CPO. Hal tersebut dapat dipahami mengingat umur kebun nasional tengah memasuki rentang masa produktif dan didukung oleh kondisi cuaca yang kembali normal. Diproyeksikan produksi nasional di tahun ini dapat mencapai sekitar 45-46 juta MT. Peningkatan juga dialami di sisi ekspor minyak sawit dan turunannya jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tercatat sampai Juli 2018 total ekspor minyak CPO dan turunannya mencapai level 17,26 juta MT, atau meningkat 9,52% dari tahun sebelumnya yang sebesar 15,76 juta MT (yoy). Namun demikian, peningkatan tersebut belum mampu menyerap stok minyak sawit di level produsen yang meningkat akibat jumlah produksi yang lebih besar. Diperkirakan stok akhir CPO di bulan Juli 2018 ditutup pada level 4,7 juta MT. Dampak Perang Dagang China-AS Sementara itu, di sisi permintaan, perang dagang antara China dan AS berdampak pada tertutupnya impor kedelai dari AS ke pasar China dan beralih ke produk dari Brasil dan Argentina. Overstock kedelai di tingkat produsen AS terjadi dimana di tahun 2018 stok mencapai level 21,35 juta MT, meningkat dari dua tahun sebelumnya yang berada di level 11,69 juta MT di tahun 2017 dan 8,21 juta MT di tahun 2016. Selain dampak dari menurunnya ekspor ke pasar China, peningkatan produksi kedelai yang mencapai level 124,81 juta MT dari dua tahun sebelumnya yang mencapai level 119,52 juta MT di tahun 2017 dan 116,92 juta MT di tahun 2016 memberikan insentif negatif terhadap harga jual minyak kedelai AS yang terus mengalami penurunan. Data mencatat rata-rata harga trading minyak kedelai di bursa CBOT pada Agustus berada di level US$28,32/lb atau US$626/MT, menurun sebesar 0,39% dari bulan sebelumnya atau 16,66% dari tahun sebelumnya (yoy). ``Sumber: Indexmundi dan Neste Rendahnya harga jual minyak kedelai AS ditangkap oleh pasar Eropa yang mengalami kegagalan produksi rapeseed. Kondisi cuaca yang ekstrem menyebabkan produksi rapeseed di tahun 2018 di Eropa menurun sebesar 13,32% dari tahun sebelumnya (yoy). Press release European Commission menyebutkan ekspor kedelai dari Amerika Serikat ke pasar Uni Eropa meningkat sebesar 283% dari tahun sebelumnya. Hal tersebut meningkatkan market share kedelai Amerika Serikat di pasar Uni Eropa yang sebelumnya sebesar 9% menjadi 37%. Peningkatan kerjasama antara AS dengan Uni Eropa tersebut memberikan tekanan bagi perdagangan CPO di pasar Eropa. Harga CPO terpengaruh secara signifikan oleh harga jual kedelai AS di pasar Uni Eropa. Dampak Depresiasi Rupiah ke Hulu Penurunan nilai tukar rupiah terdapat dolar AS tidak memberikan dampak positif secara langsung terhadap harga jual CPO di pasar global. Namun, nilai tukar yang melemah memberikan insentif bagi peningkatan daya saing minyak sawit di pasar ekspor terhadap minyak nabati lain, utamanya kedelai AS. Penambahan margin usaha akibat risiko nilai tukar memberikan eksportir dalam negeri fleksibilitas untuk menurunkan harga jual guna menyaingi harga jual kedelai AS yang murah. Akan tetapi, hal tersebut dapat dirasakan lain oleh pekebun dimana harga jual ekspor merupakan variabel utama penetapan harga jual tandan buah segar (TBS) di tingkat daerah. Penurunan harga jual ekspor yang terjadi di tahun 2018 ikut menurunkan harga jual TBS yang ditetapkan oleh kepala daerah. ``Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Jambi, dan Kalbar Sebagai contoh, di Provinsi Riau, Jambi dan Kalimantan Barat, rata-rata harga jual TBS di tahun 2018 menurun masing-masing sebesar 7,33%, 9,18%, dan 4,86% dibandingkan dengan rata-rata tahun sebelumnya. Kondisi tersebut hendaknya perlu disikapi bersama guna distribusi hasil yang berimbang di sepanjang rantai usaha kelapa sawit nasional.***[:]