Kisah Riau di Balik Peremajaan Sawit

BELUM lama ini Presiden Joko Widodo meresmikan peremajaan (replanting) perkebunan kelapa sawit rakyat tahap III di Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Peremajaan kali ini mencakup lahan seluas 15.000 Ha yang melibatkan 5.000 petani swadaya di Kabupaten Rokan Hilir. Peresmian oleh Presiden ini juga serentak untuk program peremajaan di Provinsi Riau yang mencakup lahan dengan luas 25.423 Ha.

Kisah Riau di Balik Peremajaan Sawit
BELUM lama ini Presiden Joko Widodo meresmikan peremajaan (replanting) perkebunan kelapa sawit rakyat tahap III di Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Peremajaan kali ini mencakup lahan seluas 15.000 Ha yang melibatkan 5.000 petani swadaya di Kabupaten Rokan Hilir. Peresmian oleh Presiden ini juga serentak untuk program peremajaan di Provinsi Riau yang mencakup lahan dengan luas 25.423 Ha. Lahan sawit tersebut tersebar di delapan kabupaten yakni, Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan  Hulu, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Indragiri Hulu, dan Kabupaten Bengkalis. Replanting di provinsi ini sudah demikian mendesak, bahkan boleh dikatakan terlambat. Sebab kebanyakan pohon kelapa sawit rakyat sudah berumur tua sehingga tidak lagi produktif, rata-rata berusia di atas 30 tahun. Produktivitas kebun tua paling banter menghasilkan 5 ton per hektar. Padahal, di perkebunan milik perusahaan swasta produktivitasnya sudah bisa mencapai 10 ton per hektare. Sudah sepantasnya pula Riau memacu replanting karena provinsi ini banyak menggantungkan ekonominya kepada sawit. Provinsi Riau kini tengah menjalani proses transformasi ekonomi dari ekonomi berbasis pertambangan migas fosil kepada sumber daya terbarukan (renewable economy). Jika di masa lalu Riau dikenal sebagai penghasil minyak bumi, maka kini Riau lebih dikenal sebagai penghasil minyak sawit (CPO). Minyak bumi yang dulu amat berlimpah, kini semakin menyusut bahkan banyak ladang minyak yang sudah ditinggalkan. Sebagai gantinya, sejak 1985 Riau gencar mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Sebelum sawit berkembang, aktivitas pembalakan liar kerap terjadi dan menimbulkan deforestasi dan alih fungsi hutan menjadi fungdi non hutan seluas 3,6 juta hektare. Era logging di Riau menyebabkan degradasi ekonomi dan ekologi, meninggalkan daerah-daerah kritis, terbelakang, miskin, dan kota mati. Pengembangan sawit menyebabkan Riau kembali hijau, baik ekonomi maupun ekologi. Industri sawit di Riau telah menghasilkan energi terbarukan dari minyak sawit, menggantikan energi fosil yang sudah habis. Secara ekologi, industri ini membersihkan udara Riau karena menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen. Kontribusi Terhadap Ekonomi Perkebunan kelapa sawit di Riau memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian provinsi ini. Luas areal perkebunan meningkat dari 300 ribu hektar pada 1990 menjadi 3,4 juta hektar pada 2015. Peningkatan ini didukung oleh meningkatnya pangsa perkebunan sawit rakyat dari 31 persen pada 1995 menjadi 58 persen pada 2015. Maraknya perkebunan kelapa sawit di Riau juga berimbas pada penerapan tenaga kerja, yakni dari 302 ribu orang pada 2000 menjadi 842 ribu orang pada 2015. Petani sawit merupakan pelaku terbesar perkebunan kelapa sawit. Jumlah petani sawit meningkat dari 170 ribu orang pada 2000 menjadi 572 ribu orang pada 2015. Perkebunan kelapa sawit juga menarik perkembangan pemasok barang dan jasa, yakni usaha kecil menengah dan koperasi yang meningkat dari 565 unit pada 2004 menjadi 707 unit pada 2014. Riau tidak hanya menghasilkan minyak sawit mentah, tetapi juga menghasilkan produk olahan melalui pengembangan industri hilir di kawasan Dumai dan sekitarnya. Antara lain industri oleofood, oleokimia, dan biodiesel. Dengan perkembangan demikian, tidak heran bila Riau dijadikan contoh provinsi yang berhasil oleh perkebunan sawit. Riau juga menggambarkan betapa peran sawit demikian signifikan bagi perekonomian yang mampu menghidupi banyak orang. Itulah sebabnya, pemerintah kini mati-matian membela sawit di kancah perdagangan internasional. ***