Opini: Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi ISPO

Opini: Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi ISPO

Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO)

Oleh: Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H.

Dosen Tetap Fakultas Hukum-Universitas Jember, Sekretaris Jenderal Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB)

PENYELENGGARAAN Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO), selanjutnya disebut Sistem Sertifikasi ISPO telah berjalan sejak tahun 2011 melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO), kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO).

Sistem Sertifikasi ISPO yang telah berjalan sejak tahun 2011 disamping telah mengalami berbagai pencapaian dan perkembangan juga menemui berbagai hambatan, masalah, tantangan dan tuntutan. Merujuk hasil kajian dan referensi dari berbagai pihak, meskipun Indonesia telah memberlakukan Sistem Sertifikasi ISPO, namun kelapa sawit Indonesia tidak serta merta terlepas dari adanya tuntutan Sustainable Palm Oil, baik yang datang dari pembeli, konsumen dan/atau industri dari produk berbahan baku minyak sawit, dan yang paling keras bersuara adalah lembaga swadaya masyarakat (NGO), baik di tingkat nasional, regional ataupun internasional.

Sementara hambatan, masalah, tantangan dan tuntutan krusial terkait Sistem Sertifikasi ISPO antara lain, pertama, terkait pemahaman dan kebijakan tentang konsep sustainability (keberlanjutan) di Indonesia. Persoalan sangat mendasar yang belum pernah dibahas secara tuntas dalam konteks Indonesia adalah pemahaman bersama tentang definisi dan konsep dasar dari sustainability dalam pengelolaan dan pengembangan kelapa sawit.

Kedua, mekanisme kelembagaan penyelenggaraan sertifikasi ISPO. Persoalan mendasar dalam mekanisme kelembagaan ISPO terletak pada mekanisme penyelenggaraan proses sertifikasi ISPO yang dinilai sebagian pihak tidak transparan, tidak ada tanggung-gugat dari pelaksana audit dan penilaian akhir serta waktu yang lama dalam penentuan keputusan pemberian sertifikasi ISPO.

Adanya peran besar yang diberikan kepada Komisi ISPO dalam proses Sertifikasi ISPO, melalui Sekretariat ISPO yang berada di bawah Kementerian Pertanian, juga dinilai sebagian pihak menjadi hambatan praktis bagi pelaku dan lembaga sertifikasi ISPO yang seharusnya bersifat independen.

Ketiga, substansi prinsip, kriteria dan indikator dari Sistem Sertifikasi ISPO. ISPO diklaim sebagian pihak lebih mencerminkan kepentingan nasional. Di lain pihak, ISPO tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pasar dan konsumennya, karena dianggap sebagai kebijakan lokal dan memiliki kelemahan dalam kriterianya. Standar dan kriteria yang dibuat belum mampu menjawab kelemahan tata kelola perizinan, pengawasan, inkonsistensi kebijakan, minimnya transparansi dan lemahnya penegakan hukum yang terus terjadi.

Keempat, legalitas dan pembiayaan sertifikasi ISPO. Penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO selama ini dinilai kurang berjalan maksimal dikarenakan beberapa faktor, antara lain, mengenai pemenuhan aspek legalitas dan masalah pembiayaan.

Kelima, keberterimaan di pasar global. Meskipun telah menjadi produsen kelapa sawit terbesar dunia, banyak isu negatif terhadap perkelapa-sawitan Indonesia yang dimunculkan terutama oleh negara-negara pasar ekspor kelapa sawit Indonesia.

Keenam, Sistem Sertifikasi ISPO selama ini telah mempunyai beberapa payung hukum, baik yang mengatur secara tersurat maupun tersirat, dan yang langsung mengatur tentang ISPO terdapat dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015. Oleh karena itu, ada beberapa pemikiran bahwa peraturan yang mengatur ISPO seyogyanya perlu ditingkatkan menjadi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk peraturan presiden.

Untuk menjawab beberapa hambatan, masalah, tantangan dan tuntutan krusial terkait Sistem Sertifikasi ISPO di atas, sejak tahun 2016 muncul adanya proses penguatan Sistem Sertifikasi ISPO. Setelah melalui serangkaian proses yang panjang, Presiden RI telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, selanjutnya disebut Perpres tentang Sistem Sertifikasi ISPO, pada tanggal 13 Maret 2020 dan telah diundangkan pada tanggal 16 Maret 2020.

Perpres ini diterbitkan dengan beberapa dasar pertimbangan, bahwa perkebunan kelapa sawit  Indonesia menyerap tenaga kerja yang cukup besar dan menyumbang devisa bagi negara sehingga diperlukan sistem pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang efektif, efisien, adil dan berkelanjutan demi mendukung pembangunan ekonomi nasional.

Selanjutnya, untuk lebih memastikan usaha perkebunan kelapa sawit yang layak secara sosial, ekonomi dan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, perlu dilakukan penyempurnaan dalam penyelenggaraan Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Terakhir, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan internaisonal dan kebutuhan hokum sehingga perlu diganti  dan  diatur  kembali dalam Peraturan Presiden.

Beberapa critical issue yang ingin dijawab oleh Perpres Sistem Sertifikasi ISPO, meliputi, pertama, memperbaiki tata kelola Sertifikasi ISPO dengan membuka ruang partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi.

Kedua, menata ulang kelembagaan Komisi ISPO dari sisi keanggotaan, tugas, fungsi, dan integritas. Ketiga, meletakkan fungsi Komite Akreditasi Nasional (KAN) dalam sistem Sertifikasi ISPO. Keempat, menyempurnakan standar dan persyaratan sertifikasi ISPO.

Kelima, meningkatkan perhatian terhadap persoalan deforestasi, konversi lahan gambut, dan emisi gas rumah kaca. Keenam, membangun mekanisme pemantauan independen yang lebih kredibel.

Materi muatan dalam Perpres ini terbagi dalam VII Bab dan 30 Pasal yang mengatur perihal Sertifikasi ISPO; kelembagaan; keberterimaan, daya saing pasar, dan peran serta masyarakat; pembinaan dan pengawasan; serta sanksi.

Menurut Pasal 3 Perpres ini bahwa penyelenggaraan sistem Sertifikasi ISPO bertujuan untuk: a. memastikan dan meningkatkan pengelolaan serta pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO; b. meningkatkan keberterimaan  dan daya saing  Hasil Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia di pasar nasional dan internasional; dan c. meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.

Adapun beberapa pengaturan baru dan krusial dalam Sistem Sertifikasi ISPO yang diatur dalam Perpres ini, antara lain, penerapan Sistem Sertifikasi ISPO dilakukan secara wajib/mandatory baik bagi perusahaan maupun pekebun, meskipun bagi pekebun baru diberlakukan 5 tahun sejak Perpres ini diundangkan; mekanisme pengambilan keputusan Sertifikasi ISPO diterapkan dengan lebih akuntabel, transparan dan memenuhi Standar Sistem Sertifikasi Internasional; adanya reformulasi prinsip dan kriteria ISPO; pendanaan Sertifikasi ISPO, khususnya bagi pekebun; kelembagaan dalam Sertifikasi ISPO yang terdiri dari Dewan Pengarah, Komite ISPO, Komite Akreditasi Nasional, Lembaga Sertifikasi ISPO dan Pelaku Usaha Perkebunan Kelapa Sawit; peran Pemerintah beserta pemangku kepentingan dalam meningkatkan keberterimaan pasar secara nasional dan internasional; peran serta masyarakat, pelaku usaha dan pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan Sertifikasi ISPO, salah satunya melalui keterlibatan Pemantau Independen sebagai salah satu unsur di dalam Komite ISPO; dan pembinaan bagi pekebun dalam penyiapan dan pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO.

Perpres ini juga memuat ketentuan peralihan bahwa meskipun berlaku sejak diundangkan, namun Sertifikat ISPO yang telah diterbitkan sebelumnya dinyatakan tetap berlaku dengan beberapa ketentuan. Dan yang tidak kalah pentingnya, peraturan pelaksanaan dari Perpres ini, dalam bentuk Peraturan Menteri Pertanian, harus ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Perpres ini diundangkan.

Dengan demikian, melalui pengundangan Perpres tentang Sistem Sertifikasi ISPO ini diharapkan dapat menjawab segala pertanyaan, tantangan dan tuntutan dalam pembangunan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan sehingga lebih berkepastian hukum, berkeadilan dan bermanfaat. Yang pada akhirnya sesuai dengan amanat Pasal 33 UUDNRI dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. ***