Kisah Petani Sawit yang “Kebal” Pandemi

Kisah Petani Sawit yang “Kebal” Pandemi
Foto Ilustrasi: Petani Pemanen Sawit pada Kebun Sukamaju PTPN VIII, Lokasi Field Trip Journalist Fellowship Batch I (Dok. Anwar/BPDPKS)

Oleh Aditya Ramadhan, LKBN Antara.

Keterangan: Pemenang Lomba Penulisan Artikel Sawit Kategori Aspek Sosial, Kegiatan BPDPKS Journalist Fellowship & Training Batch I 2021.

Jakarta - "Di sini mah bebas pandemi," kata Dadan Ramdan di teras kantor berbentuk rumah milik PT Perkebunan Nusantara VIII yang dikelilingi lahan perkebunan di Cikidang Sukabumi Jawa Barat.

Kelakar Dadan yang merupakan Asisten Kepala Wakil Manajer PTPN VIII Unit Sukamaju itu bisa diartikan secara harfiah maupun kiasan. Harfiah lantaran di perkebunan kelapa sawit memang hampir tidak ada orang selain pekerjanya yang bisa membawa virus Sars CoV-2, secara kiasan dikarenakan sektor pertanian khususnya kelapa sawit sama sekali tidak terpengaruh oleh dampak pandemi COVID-19 yang menyebabkan resesi pada sebagian besar negara-negara dunia.

Di saat gelombang PHK akibat corona menerjang yang membuat 3 juta pekerja kehilangan pekerjaan dan sampai 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak, tak ada satupun petani yang bertugas memetik tandan buah segar (TBS) ataupun pemeliharaan kebun sawit di kebun PTPN VIII Cikidang Sukabumi yang di-PHK.

Bahkan acuan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dunia yang terus menanjak hingga ke level tertingginya di 4.560 ringgit Malaysia atau sekitar Rp1,5 juta per ton atau sekira Rp15 ribu per kg semasa pandemi memberi berkah tersendiri bagi petani sawit di PTPN VIII.

"Berapa kamu, Jang?" tanya Dadan kepada petani yang baru saja menurunkan TBS di Kebun Sawit Sukamaju perihal pendapatan yang diterimanya per bulan.

"Rp5 juta, pak," katanya.

Jumlah itu merupakan pendapatan rata-rata petani yang bekerja hanya memanen TBS di kebun sawit milik PTPN VIII sebanyak 256 orang. Namun besaran gaji tersebut bisa lebih besar hingga Rp7 juta per bulan tergantung dengan TBS yang dipanen. Boro-boro di-PHK, pengurangan upah sekalipun tidak berlaku bagi petani sawit tersebut yang pendapatannya justru selalu stabil selama pandemi berlangsung.

Selain petani yang bertugas memanen, PTPN VIII juga mempekerjakan 300 orang yang bertugas untuk melakukan pemeliharaan kebun sawit seperti penyemprotan pupuk hingga perawatan vegetasi di sekeliling lahan guna menunjang kualitas sawit yang diproduksi. Seluruh pekerja lapangan itu berasal dari masyarakat sekitar perkebunan seperti Kecamatan Cikidang dan Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Pendapatan petani sawit yang stabil tak terdampak pandemi ini tidak hanya dirasakan oleh pekerja di PTPN VIII saja, tapi juga berlaku di seluruh Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung mengakui bahwa petani sawit adalah kelompok yang "kebal" terhadap pandemi.

"Faktanya, bahwa justru petani sawit itu kuat dalam menghadapi badai Covid-19, baik secara kesehatan maupun secara ekonomi," kata Gulat.

Hal itu dilihat berdasarkan survei yang dilakukan oleh Apkasindo bahwa sebanyak 83 persen masyarakat di desa petani sawit anggota Apkasindo tidak terinfeksi Covid-19. Data survei itu juga menunjukkan kegiatan panen di kebun sawit tidak berubah sejak pandemi hingga saat ini, jumlah panen TBS pun tak ada bedanya dibandingkan sebelum terjadi pandemi Covid-19. Pabrik kelapa sawit tetap menerima TBS yang dijual petani seperti sedianya, harga TBS tidak turun, dan pendapatan petani pun tetap semenjak adanya Covid-19.

Berdasarkan data terbaru yang dimiliki oleh Apkasindo, pendapatan petani sawit kurang lebih Rp4,6 juta per bulan. Besaran pendapatan itu stabil dan tidak menurun sejak terjadi pandemi.

Besaran pendapatan tersebut diambil dari sebagian besar profil petani sawit yang memiliki lahan 4,18 hektar per petani dikalikan dengan penghasilan sebesar Rp1,1 juta per hektar per bulan dari produksi TBS rata-rata 2,1 ton per hektar per bulan.

Menariknya, rata-rata pendapatan tersebut dihasilkan dari kebun sawit yang sebagian besar usianya tidak produktif lagi dalam menghasilkan tandan buah segar. Artinya, pendapatan petani sawit masih memiliki potensi lebih tinggi lagi apabila produktivitas kebun sawit digenjot melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang sedang digencarkan oleh pemerintah.

Rata-rata umur tanam pohon sawit yang dimiliki oleh 78 persen petani sawit rakyat berada pada usia 18 sampai 27 tahun, di mana produktivitasnya mulai menurun dari 20 hingga 15 ton per hektar per tahun. Sedangkan dengan adanya program Peremajaan Sawit Rakyat bisa menghasilkan produktivitas paling tinggi mencapai 25 ton sampai 30 ton per hektar per tahun saat usia tanam berada di kisaran sembilan hingga 15 tahun. Oleh karena itu pemerintah terus gencar melaksanakan program PSR untuk meningkatkan produktivitas sawit yang sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani.

Sebagai contoh pohon kelapa sawit bibit hibrida yang ditanam oleh Presiden Joko Widodo dalam pencanangan program Peremajaan Sawit Rakyat pada Mei 2018 di Riau, hingga kini yang usianya baru tiga tahun dua bulan sudah bisa menghasilkan TBS sebanyak 2,1 ton per hektar per bulan. "Luar biasa, ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata Gulat.

Di sisi lain, potensi meningkatnya pendapatan petani sawit juga bisa lebih besar lagi dikarenakan kenaikan harga TBS per kg setiap tahunnya. Catatan Apkasindo, harga terendah TBS per kg pada 2019 yaitu di kisaran Rp1.200 hingga Rp1.400. Pada Agustus 2021, harga TBS melonjak di kisaran Rp2.100 sampai Rp2.700 per kg.

Aspek sosial

Subsektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia berdampak sangat besar terhadap aspek sosial, khususnya bagi kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada industri sawit.

Dari total 16,3 juta hektar tutupan lahan sawit yang ada di Indonesia dari Sumatera hingga Papua, sebanyak 41 persen atau 6,72 juta hektar dimiliki oleh rakyat. Sisanya 53 persen atau 8,68 juta hektar dikelola swasta, dan 0,98 juta hektar atau 6 persennya dikelola oleh perkebunan milik negara.

Dari total 6,72 juta hektar yang merupakan perkebunan rakyat, sebanyak 2,74 juta kepala keluarga (KK) menggantungkan hidupnya pada sektor perkebunan kelapa sawit. Sehingga berbagai kebijakan, regulasi, ataupun isu yang berkaitan dengan industri kelapa sawit secara langsung dan tidak langsung akan sangat berdampak pada 2,74 juta kepala keluarga di Indonesia.

Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung peningkatan kualitas dan produktivitas kelapa sawit seperti Peremajaan Sawit Rakyat sangat berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan 2,74 juta KK. Sebaliknya, berbagai isu negatif terhadap sawit juga akan berdampak buruk pada kesejahteraan petani.

Nyatanya, berbagai isu sosial yang dialamatkan pada petani ataupun pekerja di industri sawit Indonesia seperti upah rendah, lingkungan tidak layak, hingga menyangkut HAM bertolak belakang dengan fakta di lapangan terkait kesejahteraan petani sawit.

Isu tentang pelanggaran HAM di mana perusahaan atau perkebunan sawit yang didapati mempekerjakan anak justru hal yang berkebalikan dengan warisan budaya ketimuran Indonesia.

Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan membeberkan bahwa seluruh perusahaan kelapa sawit mengecam apabila mempekerjakan anak dalam industri, bahkan di seluruh sektor. Tapi nyatanya, apa yang ditangkap dari media asing tentang anak yang bekerja di perkebunan sawit adalah budaya masyarakat Indonesia di mana seorang anak yang memiliki hubungan lekat dengan orang tua.

Kondisi yang sebenarnya adalah seorang anak petani sawit rakyat yang turut serta dalam proses panen sawit orang tuanya, yaitu bermain dan belajar sekaligus membantu orang tua. Sarat budaya ketimuran Indonesia di mana sama halnya dengan seorang anak yang membantu pekerjaan ibu di rumah.

"Yang terjadi di petani, di perkebunan rakyat itu kadang-kadang orang tuanya mengajak anaknya kalau sedang panen. Anaknya memungut buah yang jatuh, dikumpulkan. Dalam perspektif barat, itu dianggap suatu pelanggaran penggunaan anak-anak sebagai tenaga kerja, tapi dari sisi lain di kita menganggapnya kultur dan budaya," katanya.

Terlebih dengan adanya kewajiban seluruh perkebunan sawit di Indonesia harus tersertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang di dalamnya mengatur keberlangsungan industri kelapa sawit dari segi sosial, ekonomi, serta lingkungan, akan menghindarkan industri ini dari praktik pengelolaan yang merugikan dan berdampak buruk.

Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dengan luas lahan yang juga paling besar dibandingkan seluruh negara produsen sawit dunia. Indonesia juga merupakan eksportir sawit terbesar di dunia dengan 44,5 juta ton setahun dengan pangsa pasar nomor satu global yaitu 58 persen. Kontribusi kelapa sawit terhadap pertumbuhan dari total PDB mencapai 3,5 persen di mana sangat menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia terlebih di saat pandemi.

Total ekspor sawit juga terus tumbuh di mana pada 2020 jumlah ekspor senilai 24,2 miliar dolar AS, dan berkontribusi terhadap rata-rata 13,5 persen ekspor nonmigas. Selain itu industri kelapa sawit juga berdampak besar pada pembukaan lapangan pekerjaan di mana terdapat 16,2 juta pekerja, yaitu 4,2 juta pekerja langsung dan 12 juta pekerja tidak langsung.

Kelapa sawit adalah produk komoditas unggulan Indonesia yang berkontribusi besar terhadap perekonomian negara, dan merupakan tempat menggantungkan hidup jutaan petani dari Sabang sampai Merauke. Maka, janganlah menghujat kelapa sawit beserta jutaan petani yang hidup dengannya. *** (Aditya Ramadhan/ANW/BPDPKS)

Link Berita:

https://www.antaranews.com/berita/2371746/kisah-petani-sawit-yang-kebal-pandemi