BPDPKS Terus Kembangkan Bahan Bakar Nabati Cair dari Sawit

JAKARTA—Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menegaskan komitmennya untuk mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) cair dari minyak sawit. Sejumlah upaya pengembangan telah dilakukan dan mulai menunjukkan hasil menggembirakan.

BPDPKS Terus Kembangkan Bahan Bakar Nabati Cair dari Sawit

Demikian disampaikan Direktur Penyaluran Dana BPDPKS Edi Wibowo dalam Webinar Green Energy bertajuk “Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Hidrokarbon untuk Kemaslahatan Bangsa” yang digelar di Jakarta, Selasa (13/10/2020).

“Melalui program kemitraan, BPDPKS mendukung upaya pengembangan BBN, antara lain dengan mengintegrasikan kebun sawit rakyat yang telah diremajakan melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) untuk menghasilkan industrial vegetable oil (IVO). Dari IVO ini kemudian kita kembangkan menjadi Bensin Sawit (BenSa) dan green diesel,” ungkap Eddy.

Menurutnya, upaya ini telah menunjukkan kemajuan signifikan. Uji coba pengolahan TBS rakyat telah dilakukan di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan berbahan baku buah sawit yang dipanen dari kebun hasil PSR yang dilakukan pada 2017.

“Akhir Oktober atau awal November tahun ini sudah mencapai tahap commisioning dan mudah-mudahan bisa menghasilkan produk yang kita harapkan. Jika pilot project ini berhasil, kita akan tingkatkan lagi skala produksinya,” tutur Edi.

Ia juga mengungkapkan BPDPKS bersama sejumlah perguruan tinggi dan lembaga terkait tengah melaksanakan tahap lanjut pengembangan BBN energi terbarukan. Yakni, program konversi sawit menjadi bahan bakar biohidrokarbon untuk memproduksi green diesel, green gasoline, green jet fuel. Ini merupakan pemanfaatan sawit sebagai bahan bakar selain melalui program mandatori biodiesel yang memanfaatkan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) dari sawit.

Antara lain, BPDPKS bersama LPPM Institut Teknologi Bandung (ITB) mengembangkan teknologi produksi bahan bakar energi terbarukan tipe drop in via dekarboksilasi dan pirolisis sabun logam berbasis minyak sawit.

“Pada tahun pertama kita akan produksi stearin sawit, sabun basa dan kemudian menghasilkan diesel hijau. Kemudian sekitar tahun kedua, pilot project kita mulai dan nanti kita harapkan menghasilkan green diesel atau diesel hijau dengan angka setana sekitar 53:18, lebih tinggi dibandingkan dengan minyak solar saat ini yang sekitar 48,” papar Edi.

Selain itu, dengan LPPM ITB juga tengah dikembangkan proses perengkahan katalitik minyak sawit untuk produksi BBN. “Kalau yang tadi green diesel, maka yang ini arahnya green gasoline. Pada tahun pertama kita merancang katalis dan proses perengkahan minyak sawit menjadi green gasoline. Tahun kedua merancang dan membangun unit pilot perengkahan minyak sawit menjadi green gasoline.”

Tengah dikembangkan pula inovasi lanjut katalis dan teknologi “Merah Putih” untuk operasi co-processing produksi BBN dari minyak sawit. Pengembangan ini nantinya akan menghasilkan IVO, bio diesel, dan Bio Avtur, Bio Gasoline/BenSa.

Sementara itu, bersama sejumlah lembaga terkait, BPDPKS juga terus mengembangkan pemanfaatan sawit untuk BBN. Antara lain bersama LEMIGAS melakukan kajian pemanfaatan bahan bakar B30 untuk mesin diesel pada alat pertanian, angkutan laut, kereta api, dan alat berat sektor pertambangan.

LEMIGAS juga tengah melakukan kajian penerapan B40 melalui uji karakteristik, penyimpanan, unjuk kerja dan ketahanan mesin diesel pada engine test bech serta aspek tekno ekonomi.

 

Tantangan Pengembangan

Hadir pula sebagai pembicara dalam Webinar tersebut Andriah Feby Misna Direktur Bioenergi pada Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM. Menurutnya, sejumlah tantangan dihadapi dalam pengembangan biohidrokarbon. Yakni, dalam hal regulasi, insentif, bahan baku, dan sarana prasarana.

“Dari sisi regulasi misalnya belum ada regulasi terkait rencana penerapan B40 dan BBN biohidrokarbon. Sedangkan dari sisi insentif, saat ini terdapat selisih antara harga CPO, minyak mentah dan tingkat keekonomian Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) terhadap MOPS (Mid Oil Platts Singapore) sehingga dibutuhkan insentif,” ungkap Andriah.

Sedangkan terkait bahan baku, Menurut Andriah, diperlukan kajian menyeluruh terkait ketersediaan bahan baku. Selain itu diperlukan pula sarana dan prasarana pendukungnya yakni penyesuaian fasilitas produksi dan penyaluran BBN biohidrokarbon.

Berbicara pada kesempatan sama, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Parulian Tumanggor menjelaskan mengenai perlunya penggunaan BBN berbasis sawit. Menurutnya, Indonesia memang harus beralih pada BBN seperti biodiesel, setidaknya, karena dua hal.

Pertama, terkait selisih harga crude oil yakni sekitar US$100 per barel. Sedangkan yang kedua adalah fakta bahwa Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah dikarenakan produksi crude oil Indonesia lebih kecil daripada kebutuhan nasional.

“Betapa bersyukur-nya kita bahwa Tuhan menganugerahkan kepada kita menjadi produsen CPO terbesar di dunia karena tidak semua negara bisa menanam sawit. Sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan kemudian, cinta penggunaan bahan bakar nabati juga makin diketatkan” ujar Tumanggor, dalam penjelasannya.

Di luar kedua hal tersebut, menurut Tumanggor, penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari adanya tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakati dalam Protokol Kyoto tahun 2015. Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi.  ***