Melawan Dunia Membela Petani Sawit

INDUSTRI sawit nasional terus berada dalam tekanan negara asing. Memang ini bukan hal baru, namun belakangan serangan terhadap industri kelapa sawit terasa lebih kencang dan bertubi-tubi.

Melawan Dunia Membela Petani Sawit

INDUSTRI sawit nasional terus berada dalam tekanan negara asing. Memang ini bukan hal baru, namun belakangan serangan terhadap industri kelapa sawit terasa lebih kencang dan bertubi-tubi. Sudah sejak lama Amerika Serikat dan Uni Eropa mencoba menghambat produk sawit dan turunannya dari Indonesia untuk masuk ke pasar mereka.

Persoalan lingkungan kerap dijadikan alasan untuk menyerang sawit Indonesia. CPO dan produk turunan lain seperti biofuel dan lain-lain dilarang masuk dengan dalih perkebunan sawit merusak lingkungan. Belakangan, bukan hanya Uni Eropa dan AS yang gencar menentang sawit. India dan Selandia Baru juga mulai terbawa arus untuk menghambat masuknya produk kelapa sawit.

Tentu saja, pemerintah kesal bukan kepalang. Sebab, tindakan itu sama saja dengan mendiskriminasi produk Indonesia. Apalagi, Indonesia dan negara-negara penghambat sawit adalah sama-sama anggota WTO yang sudah pasti mengadopsi perjanjian perdagangan yang fair.

Itulah mengapa pemerintah gusar ketika Parlemen Uni Eropa memutuskan untuk melarang penggunaan produk biofuel berbahan dasar sawit. Pelarangan itu dianggap sebagai tindakan diskriminasi terang-terangan dalam praktik perdagangan bebas. Protes pun dilancarkan kepada Uni Eropa.

Di setiap ada kesempatan, pemerintah selalu menyelipkan misi sawit, menjelaskan kepada siapa pun posisi sawit Indonesia, yakni sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi misalnya, saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Italia Angelino Alfano meminta agar Italia mendukung penggunaan produk kelapa sawit Indonesia.

Begitupun Presiden Joko Widodo, langsung menggunakan kesempatannya untuk mempromosikan sawit Indonesia saat bertemu dengan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern di Wellington, belum lama ini. Bukan tanpa alasan, Selandia Baru mulai ikut-ikutan mempertanyakan aspek lingkungan terkait ekspor ampas kelapa sawit dari Indonesia.

`Saya juga meminta perhatian Yang Mulia mengenai ekspor pakan ternak dari ampas kelapa sawit yang mulai dipertanyakan dari aspek lingkungan. Perkebunan kelapa sawit ini melibatkan 17 juta orang, 3 kali dari penduduk Selandia Baru. Separuh dari perkebunan dimiliki oleh petani kecil. Isu sustainability harus terus berjalan seiring isu hak kemakmuran bagi petani kecil,` tutur Presiden.

Secara khusus, pemerintah sudah mengutus Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Panjaitan untuk berkunjung ke Parlemen Uni Eropa di Brussel, Belgia April mendatang.  Sebelumnya, Luhut bahkan mengumpulkan duta besar dari negara Uni Eropa di Jakarta untuk menjelaskan masalah kelapa sawit.

Tak hanya kalangan pemerintahan,  kalangan parlemen juga tak tinggal diam melihat sawit Indonesia diserang dari berbagai sudut. Ketua DPR Bambang Soesatyo bahkan meminta pemerintah untuk menyusun sebuah strategi nasional untuk melawan kampanye negatif sawit Indonesia.

“Kami meminta Komisi VI DPR untuk mendorong Kementerian Perdagangan untuk segera melakukan perlawanan terhadap kampanye negatif tentang CPO Indonesia. Komisi VI juga harus mendorong Kemendag untuk memiliki strategi nasional dalam menghadapi serangan terhadap komoditas sawit di pasar Internasional,” ujar Ketua DPR dalam keterangannya Senin, (20/3/2018).

Nasib Petani

Wajar saja, jika pemerintah harus mati-matian membela kelapa sawit. Sebab, perkebunan ini menyangkut hajat hidup orang banyak, menyangkut nasib rakyat yang menggantungkan hidupnya kepada sawit.

Saat ini, terdapat sekitar 5,3 juta petani sawit di Indonesia yang masing-masing memiliki keluarga yang harus dinafkahi sehingga jumlah orang yang bergantung kepada sawit bukan lagi angka kecil. Presiden Jokowi menyebut, sedikitnya terdapat 17 juta orang yang bergantung pada perkebunan sawit. Jumlah itu bahkan jauh lebih besar dibandingkan satu negara seperti Selandia Baru, Singapura.

Memang, tidak semua lahan sawit di Indonesia adalah milik petani atau rakyat karena ada pula yang dimiliki oleh korporasi. Namun, dari 12 juta hektare total lahan sawit yang ada, separuh darinya adalah milik rakyat. Perlu juga diingat bahwa perkebunan yang dikelola korporasi juga melibatkan rakyat, sehingga ada banyak orang yang bergantung padanya.

Industri kelapa sawit bukan hanya menyangkut produk minyak kelapa sawit (CPO), tetapi juga ada banyak produk turunan yang dihasilkan. Dari biofuel dan biodiesel saja misalnya, sangat banyak orang yang terlibat di dalamnya.

Secara sederhana, petani sawit akan diuntungkan jika produksi biodiesel atau biofuel meningkat. Sebab, harga tandan buah segar dari petani praktis lebih bersaing. Belum lagi dari aspek penyerapan tenaga kerja, karena saat ini saja industri biodiesel mampu menyerap 382.653 orang di perkebunan dan 2.887 orang di sektor non perkebunan.

Itulah sebabnya, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) sangat marah atas kebijakan Uni Eropa yang melarang biofuel berbahan dasar sawit. Pelarangan itu sama saja dengan membunuh mereka secara sistematis. `Pelarangan minyak sawit untuk biodiesel di Eropa sama dengan kejahatan sistematis untuk membunuh 5,3 juta petani Indonesia yang hidupnya tergantung dari kelapa sawit,` ujar Sekretaris Jenderal Apkasindo Asmar Arsjad.

Menurutnya, kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang telah menjadi motor pengentasan kemiskinan dan pendorong pembangunan perdesaan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika sawit Indonesia tidak bisa dijual ke pasar global. Para petani bukan hanya akan kehilangan sumber penghidupan, tetapi juga kemiskinan akan kembali menghinggapi mereka. ***