Jaga Kualitas B20 dengan Teknik Penanganan dan Penyimpanan yang Baik

KALANGAN pakar dan peneliti bioenergi menyarankan kepada Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM) dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) untuk memperhatikan faktor penanganan dan penyimpanan bahan bakar B20. Sebab, penanganan dan penyimpanan yang baik bisa menjaga kualitas bakar hasil pencampuran 80% solar dan 20% biodiesel itu. Saran tersebut mengemuka dalam acara sosialisasi implementasi program perluasan mandatori B20 yang digelar Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di Palembang, Sumatera Selatan, (10/10/2018).

Jaga Kualitas B20 dengan Teknik Penanganan dan Penyimpanan yang Baik
KALANGAN pakar dan peneliti bioenergi menyarankan kepada Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM) dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) untuk memperhatikan faktor penanganan dan penyimpanan bahan bakar B20. Sebab, penanganan dan penyimpanan yang baik bisa menjaga kualitas bakar hasil pencampuran 80% solar dan 20% biodiesel itu. Saran tersebut mengemuka dalam acara sosialisasi implementasi program perluasan mandatori B20 yang digelar Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di Palembang, Sumatera Selatan, (10/10/2018). Acara bertema “Biodiesel untuk Bangsa dan Negara” itu menghadirkan sejumlah kalangan dari regulator, BU BBM, BU BBN, konsumen, akademisi, dan berbagai elemen masyarakat lain. Tatang Hernas, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi (IKABI) mengungkapkan penanganan dan penyimpangan yang baik perlu diperhatikan untuk menjamin kualitas B20 yang akan dipakai. “Perlu penanganan yang baik untuk menghindari penurunan kualitas B20, pencemaran lingkungan, maupun insiden atau kecelakaan kerja,” ujar Tatang. Menurutnya, B20 memiliki karakteristik yang berbeda dengan solar (B0). “Biodiesel berbasis kelapa sawit memiliki keunggulan dibandingkan bahan baku minyak lainnya. Namun, biodiesel berbasis kelapa sawit cenderung memiliki titik tuang dan titik kabut yang tinggi. Karena itulah perlu penanganan dan penyimpanan yang baik,“ tegas Tatang. Ia menjelaskan, menyimpan B20 harus memperhatikan kondisi lingkungan untuk menghindari kontaminasi pengotor seperti air, lumpur, debu, dan material lain yang berpotensi merusak kualitas B20. “Intinya, perlu diketahui bahwa teknik penanganan dan penyimpanan B20 tidak bisa disamakan dengan minyak solar,” tandas Tatang. Sementara itu, Ketua Kelompok Peneliti Bahan Bakar dan Gas dari Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Cahyo Setyo Wibowo menuturkan pihaknya tengah meneliti kemungkinan B20 bisa disimpan hingga lebih dari enam bulan. “Memang tidak disarankan untuk menyimpan B20 lebih dari tiga bulan. Namun, kami dapat masukan dari sektor pertambangan agar B20 bisa disimpan selama enam bulan. Kita harus mengupayakan sampai enam bulan,” ujar Cahyo. Menurutnya, periode waktu penyimpanan biodiesel dapat mempengaruhi karakteristik fisika kimia dari biodiesel. Semakin lama biodiesel disimpan, asam lemak bebas yang tersisa dalam biodiesel akan terurai kembali akibat teroksidasi. Naiknya kandungan asam lemak bebas menyebabkan biodiesel akan semakin kental dan viskositas akan semakin meningkat. Selain itu, penelitian lanjutan juga perlu dilakukan, yakni dalam kaitan penggunaan B20 dalam kondisi temperatur sangat rendah. “Penelitian ketahanan pada temperatur rendah pernah kami lakukan dan membuktikan B20 bisa bertahan. Namun, pada perkembangannya, kami mendapat masukan bahwa di lokasi pertambangan Freeport, temperatur bisa mencapai minus. Karena itulah penelitian perlu terus dilakukan,” tutur Cahyo. Berkaitan dengan cara penanganan dan penyimpanan B20, Kementerian ESDM telah menerbitkan Pedoman Umum dan Petunjuk Teknis yang bisa diunduh dari situs http://ebtke.esdm.go.id/. ***