Bea Masuk Anti-subsidi Uni Eropa Bisa Hambat Ekspor Biofuel

KALANGAN produsen biofuel mengkhawatirkan rencana Uni Eropa yang berencana mengenakan bea masuk anti-subsidi sebesar 8%-18%. Jika kebijakan itu diberlakukan, ekspor biofuel Indonesia ke Uni Eropa bisa terhambat. “Tidak bisa ekspor, susah dengan bea masuk 8-18%,` kata Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan usai rapat koordinasi di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (29/7/2019). Dalam proposalnya, Uni Eropa akan mengenakan tarif bea masuk sementara untuk eksportir Indonesia dengan besaran yang berbeda-beda.

Bea Masuk Anti-subsidi Uni Eropa Bisa Hambat Ekspor Biofuel

KALANGAN produsen biofuel mengkhawatirkan rencana Uni Eropa yang berencana mengenakan bea masuk anti-subsidi sebesar 8%-18%. Jika kebijakan itu diberlakukan, ekspor biofuel Indonesia ke Uni Eropa bisa terhambat. “Tidak bisa ekspor, susah dengan bea masuk 8-18%,` kata Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan usai rapat koordinasi di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (29/7/2019). Dalam proposalnya, Uni Eropa akan mengenakan tarif bea masuk sementara untuk eksportir Indonesia dengan besaran yang berbeda-beda. Menurut Paulus, pengusaha bisa mentoleransi pengenaan tarif bea masuk hanya sampai 5%. Karena itulah sejumlah perusahaan yang terkena bea masuk anti-subsidi, sudah memberikan tanggapan kepada Uni Eropa. Hal ini diharapkan dapat meringankan tarif bea masuk yang dikenakan kepada perusahaan. PT Ciliandra Perkasa dikenakan tarif 8%, PT Intibenua Perkasatama dan PT Musim Mas (Musim Mas Group) 16,3%, serta PT Pelita Agung Agrindustri dan PT Permata Hijau Palm Oleo (Permata Group) 18%. Kemudian, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia (Wilmar Group) sebesar 15,7%. Sedangkan perusahaan lainnya dikenakan bea masuk 18%. Menghadapi hal tersebut, pemerintah tengah berupaya melakukan pendekatan melalui jalur diplomasi. Langkah ini terus dilakukan di berbagai kesempatan. Bahkan terkait penerapan delegated act untuk kebijakan Renewable Energi Directive (RED) II, pemerintah bersama Malaysia akan mengadukannya ke WTO.  *** (sumber: Katadata)