Studi IUCN: Kelapa Sawit 9 Kali Lebih Efisien dalam Penggunaan Lahan

UPAYA mengganti kelapa sawit dengan komoditas minyak nabati lain untuk memenuhi kebutuhan global atas minyak nabati diyakini akan meningkatkan total kebutuhan lahan untuk memproduksi minyak nabati non kelapa sawit.

Studi IUCN: Kelapa Sawit 9 Kali Lebih Efisien dalam Penggunaan Lahan

UPAYA mengganti kelapa sawit dengan komoditas minyak nabati lain untuk memenuhi kebutuhan global atas minyak nabati diyakini akan meningkatkan total kebutuhan lahan untuk memproduksi minyak nabati non kelapa sawit. Ini menunjukkan bahwa upaya menggantikan kelapa sawit dengan komoditas lain bukan solusi untuk mengatasi masalah lingkungan.

Hal tersebut merupakan hasil analisis obyektif tentang dampak kelapa sawit terhadap keanekaragaman hayati secara global, serta menawarkan solusi untuk pelestarian lingkungan. 

Analisis dilakukan oleh Satuan Tugas Kelapa Sawit International Union for Conservation of Nature (IUCN). Dalam keterangan pers  Kemenko Perekonomian, Senin (4/2/2019), Kepala Satgas Kelapa Sawit IUCN Erik Meijaard menyatakan hasil studi menyimpulkan bahwa komoditas minyak nabati lainnya membutuhkan lahan sembilan kali lebih besar dibandingkan kelapa sawit.

“Dengan demikian, mengganti komoditas kelapa sawit dengan komoditas minyak nabati lainnya, akan secara signifikan meningkatkan total kebutuhan lahan untuk memproduksi minyak nabati non kelapa sawit dalam rangka pemenuhan kebutuhan global atas minyak nabati,” ujar Erik saat menyerahkan hasil studinya kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta, Senin (4/2/2019).

Turut hadir dalam acara ini antara lain Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Muhammad Fachir, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman, Executive Director Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Mahendra Siregar, perwakilan dari Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, serta perwakilan dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia/GAPKI.

Erik yang juga penulis utama studi tersebut menyatakan, jika melihat dampak kerusakan terhadap keanekaragaman hayati yang ditimbulkan oleh kelapa sawit dengan perspektif global, maka tidak ada solusi yang sederhana.

“Separuh dari populasi dunia menggunakan minyak kelapa sawit dalam bentuk makanan, dan jika ini kita larang atau boikot, maka minyak nabati lainnya, yang membutuhkan lahan lebih luas, akan menggantikan kelapa sawit,” tutur Erik.

Menurutnya, kelapa sawit akan tetap dibutuhkan. Dalam hal ini diperlukan sejumlah langkah, yakni memastikan produksi kelapa sawit yang berkelanjutan dan memastikan semua pihak (pemerintah, produsen dan rantai pasok) menghargai komitmen mereka terhadap keberlanjutan.

Hasil studi itu juga menyatakan bahwa wilayah tropis di Afrika dan Amerika Selatan merupakan daerah potensial untuk penyebaran kelapa sawit. Wilayah tersebut merupakan habitat bagi setengah (54%) dari spesies mamalia terancam di dunia dan hampir dua pertiga (64%) dari spesies burung yang terancam.

Jika kelapa sawit digantikan oleh tanaman penghasil minyak nabati lainnya, maka akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem hutan tropis dan savana di Amerika Selatan. Menko Darmin menyambut baik hasil studi yang telah dilakukan oleh IUCN.

“Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi oleh industri kelapa sawit, utamanya di Indonesia, fakta berbasis ilmiah seperti ini sangat diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada publik, terkait pengembangan kelapa sawit di Indonesia,” ujar Menko Darmin.

Disebutkan pada tahun 2050, diperkirakan kebutuhan minyak nabati dunia sebesar 310 juta ton. Saat ini minyak kelapa sawit berkontribusi sebesar 35% dari total kebutuhan minyak nabati dunia, dengan konsumsi terbesar di India, China, dan Indonesia. Adapun proporsi penggunaannya adalah 75% untuk industri pangan dan 25% untuk industri kosmetik, produk pembersih dan biofuel. 

Kawasan Ekonomi Esensial

Temuan lain dalam studi tersebut antara lain menunjukkan, keanekaragaman hayati di hutan hujan tropis diisi sekitar 193 spesies yang langka, seperti orangutan, siamang, gajah serta harimau. Pemerintah Indonesia pun sudah mengalokasikan habitat bagi flora dan fauna tersebut.

Jenis habitatnya berupa taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, dan kawasan lindung lainnya dengan luasan hutan konservasi sebesar 22,1 juta ha dan hutan lindung seluas 29,7 juta ha. “Fungsi dari berbagai jenis habitat hutan inilah yang mesti dioptimalkan,” pesan Darmin.

Selain memberikan kawasan perlindungan ke satwa, pemerintah juga telah mengalokasikan ruang lain di luar kawasan perlindungan sebagai areal habitat satwa seperti koridor satwa, Kawasan Ekonomi Esensial (KEE), serta High Conservation Value (HCV). Di Indonesia, alokasi pemanfaatan lahan untuk menunjang kehidupan seluas 33% (66 juta hektar) dari total luas daratan Indonesia.

Dari luasan tersebut, perkebunan kelapa sawit menjadi yang terluas dengan pemanfaatan sebesar 14 juta hektar, diikuti sawah yang menempati 7,1 juta hektar lahan, dan selebihnya pemukiman dan fasilitas publik lainnya.

Menko Darmin juga berpesan agar hasil studi ini dilanjutkan oleh studi-studi lanjutan guna mendapatkan data dan informasi yang objektif berbasis ilmiah terkait komoditas kelapa sawit. Studi ini hendaknya tetap menggunakan pendekatan target-target pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals), sebagai kerangka pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati secara global. ***