Kebun Sawit Tidak Dibangun di atas Hutan
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa menegaskan perkebunan kelapa sawit besar di Indonesia sebagian besar tidak ditanam di lahan hutan, melainkan di lahan bekas pertanian. Hal tersebut disampaikan Yanto dalam business forum di ajang International Green Week Berlin 2019 di Berlin, Jerman (22/1/2019). Di hadapan stakeholders sawit internasional, Yanto mengemukakan bahwa penelitian ilmiah telah membuktikan hal tersebut.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa menegaskan perkebunan kelapa sawit besar di Indonesia sebagian besar tidak ditanam di lahan hutan, melainkan di lahan bekas pertanian. Hal tersebut disampaikan Yanto dalam business forum di ajang International Green Week Berlin 2019 di Berlin, Jerman (22/1/2019). Di hadapan stakeholders sawit internasional, Yanto mengemukakan bahwa penelitian ilmiah telah membuktikan hal tersebut. Dengan demikian anggapan bahwa kelapa sawit merupakan penyebab deforestasi adalah tidak benar. Penelitian tersebut dilakukan pada 25 kebun sawit besar (KSB) dan 16 perkebunan sawit swadaya (KSS) di provinsi Riau, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan. Penelitian antara lain dilakukan dengan cara melihat catatan sejarah dan asal usul lahan sawit. Hasilnya menunjukkan bahwa asal usul lahan sawit bervariasi. “Status perkebunan sawit besar yang diteliti bukan merupakan lahan hutan ketika izin kebun sawit itu diberikan. Satu atau dua tahun sebelum izin dikeluarkan, lahan-lahan tersebut sudah digunakan untuk pertanian, yang didominasi oleh perkebunan karet, hutan sekunder, dan semak belukar,” ujar Yanto. Pemaparan Yanto tersebut membantah tudingan sejumlah kalangan bahwa sawit sebagai penyebab deforestasi. Antara lain tudingan dari kalangan LSM lokal maupun internasional pada 2006 bahwa kelapa sawit dihasilkan dari hutan primer (deforestasi) dan menyebabkan pengurangan keanekaragaman hayati. Sejumlah peneliti asing juga menyebutkan bahwa pengembangan sawit berkontribusi pada deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Karena itu, untuk melihat keterkaitan antara deforestasi dan perkebunan sawit perlu dilakukan penelitian mengenai sejarah atau asal usul lahan termasuk melihat kronologi perizinan dari sumber yang beragam, tidak bisa hanya melihat satu contoh kasus saja. “Jika tuduhan didasarkan pada hasil sebuah sampling atau observasi parsial hanya di lokasi perkebunan kelapa sawit tertentu, apakah valid untuk menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagai hasil dari deforestasi?” tandas Yanto mempertanyakan tudingan yang dialamatkan pada sawit. Dijelaskan pula, dari penelitian oleh Tjondronegoro (2004), Holmes (2000), dan Pagiola (2000) disimpulkan bahwa pengalihan fungsi hutan menjadi lahan non-hutan disebabkan oleh sejumlah hal. Pertama, kebijakan transmigrasi pada periode 1905-1940 di era kolonial Belanda, serta transmigrasi umum dan swadaya pada 1969. Pada periode 1969-2000, sedikitnya 3,5 juta keluarga telah ditempatkan dan sekitar 8,94 juta hektare lahan telah dibuka. Kedua, disebabkan adanya konsesi hutan (HPH) pada awal 1970-an sehingga terjadi penebangan hutan dengan kecepatan deforestasi 0,6 juta hektare pada tahun pertama. Selain itu pada periode 1985-1997 terjadi degradasi hutan di Sumatera seluas 6,7 juta hektare dan di Kalimantan seluas 8,5 juta hektare. Ketiga, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan mengizinkan pembukaan lahan (sebagian besar lahan terdegradasi) untuk kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) sejak akhir 1980 hingga awal 1990. ***