Dunia Butuh Kelapa Sawit

INDONESIA bukan satu-satunya negara di dunia yang memproduksi kelapa sawit. Hingga saat ini, ada sekitar 12 negara tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk Afrika dan Amerika yang memproduksi kelapa sawit.

Dunia Butuh Kelapa Sawit
INDONESIA bukan satu-satunya negara di dunia yang memproduksi kelapa sawit. Hingga saat ini, ada sekitar 12 negara tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk Afrika dan Amerika yang memproduksi kelapa sawit. Menurut Direktur Eksekutif Dewan Negara Produsen Kelapa Sawit (CPOPC) Mahendra Siregar, negara-negara Uni Eropa tidak bisa hidup tanpa kelapa sawit, begitu pula sebaliknya dengan Indonesia dan Malaysia. “Masalah kelapa sawit merupakan tantangan dunia. Ini adalah tantangan global, dan jika Uni Eropa menganggap perlu untuk menyetop kelapa sawit, maka mereka akan membahayakan dunia,` kata Mahendra dalam diskusi kelapa sawit di Ayana Midplaza Hotel, Jakarta, Jumat 25 Mei 2018. Dalam kaca mata Mahendra, perkebunan kelapa sawit juga memiliki hak tersendiri, di mana di bawahnya ada petani kecil yang bergantung hidup. Oleh karena itu sawit juga perlu ditingkatkan produktivitasnya. Presiden Joko Widodo juga menaruh perhatian pada masalah kelapa sawit ini. Mahendra setuju dengan perwakilan dari Menko Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi dan Kelautan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang menyatakan bahwa banyak masyarakat kecil, para petani sawit yang bergantung pada tanaman produksi ini. Saat ini kelapa sawit tengah menjadi perundingan antara Indonesia, Malaysia dengan Uni Eropa. Hal ini terkait dengan rencana Uni Eropa untuk melarang penggunaan kelapa sawit yang membuat Indonesia dan Malaysia sebagai produsen terbesar produk kelapa sawit menjadi gundah. Tak heran jika kedua negara ini mati-matian agar kelapa sawit tetap bisa diekspor ke negara-negara di Uni Eropa. Di sisi lain, Uni Eropa merasa kelapa sawit buruk bagi lingkungan, terutama hutan dan berencana untuk mengganti produk kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan bakar dengan biofuel. Hanya saja, ada indikasi lain yang merujuk jika kebijakan tersebut hanyalah sebuah taktik dalam perang dagang semata. Masalah perang dagang inilai yang justru lebih dominan mempengaruhi kebijakan. **