Dampak Sosial Ekonomi Pengusahaan Kelapa Sawit Terhadap Kesejahteraan Petani

Industri kelapa sawit Indonesia berperan besar sebagai penggerak roda perekonomian nasional dengan menyumbangkan total ekspor di tahun 2016 sebesar 16.943.095.000 USD atau setara Rp228 Triliun (dengan kurs setara Rp13.481,82/USD). Total ekspor tersebut mencatatkan kelapa sawit sebagai komoditas penyumbang nilai ekspor terbesar, lebih besar dari total ekspor Migas.

Dampak Sosial Ekonomi Pengusahaan Kelapa Sawit Terhadap Kesejahteraan Petani
Industri kelapa sawit Indonesia berperan besar sebagai penggerak roda perekonomian nasional dengan menyumbangkan total ekspor di tahun 2016 sebesar 16.943.095.000 USD atau setara Rp228 Triliun (dengan kurs setara Rp13.481,82/USD). Total ekspor tersebut mencatatkan kelapa sawit sebagai komoditas penyumbang nilai ekspor terbesar, lebih besar dari total ekspor Migas. Indonesia sendiri merupakan produsen dan eksportir sawit terbesar dunia, dengan pangsa pasar terbesar 54% (fas.USDA.gov.us). Di samping itu, industri sawit merupakan sumber pendapatan dan penyedia lapangan kerja. Peningkatan luas perkebunan sawit Indonesia yang sangat tinggi dari 1.126.677 ha di tahun 1990 menjadi 14,03 juta ha di tahun 2015 meningkatkan penyerapan tenaga kerja menjadi lebih dari 16 juta orang yang bekerja pada sektor industri sebanyak 12 juta orang dan pekerja langsung dan 4 juta petani swadaya pada subsektor perkebunan. Dari sisi pendapatan, hasil kajian PASPI (2014) dan World Growth (2011) menunjukkan bahwa perkebunan sawit mampu mengurangi kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Pendapatan petani sawit di pedesaan bukan hanya lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani non sawit, tetapi juga tumbuh dengan lebih cepat. Untuk mengetahui dampak pengusahaan kelapa sawit bagi kesejahteraan masyarakat dilakukan kajian fact finding pada 8 propinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Kajian dilakukan pada akhir tahun 2016, dengan menganalisis dampak kesejahteraan secara makro mencakup (a) perbandingan pendapatan petani sawit dan petani pangan non sawit, (b) perbandingan tingkat kemiskinan daerah sawit dan non sawit, (c) perbandingan IPM daerah sawit dan non sawit. Hasil fact finding tersebut adalah sebagai berikut :
  • Pada tahun 2015, total luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 11,300,370 ha dengan rata-rata peningkatan 6.93% per tahun sejak tahun 2000. Total luas lahan tersebut, sebanyak 40.49% diusahakan oleh perkebunan rakyat. Peningkatan perkebunan sawit rakyat tersebut pada awalnya sepenuhnya didukung oleh program Pemerintah melalui program PIR, yang merubah komposisi dari dominansi perkebunan negara di tahun 1980an menjadi perkebunan besar swasta dan rakyat di tahun 2015.
`` Sumber: Statistik Kelapa Sawit Indonesia, BPS Indonesia
  • Namun perkembangan luas lahan belum diikuti dengan perkembangan produktivitas terutama pada perkebunan sawit rakyat. Produktivitas kelapa sawit rakyat yang rendah merupakan masalah yang dihadapi di seluruh sentra produksi kelapa sawit di Indonesia. Pada tahun 2015, produktivitas CPO Indonesia sebesar 3,68 ton CPO/ha/tahun. Rendahnya produktivitas kebun sawit Indonesia utamanya yang dimiliki dan dikelola oleh petani swadaya (berkisar 2-3 Ton/Ha/Tahun). Hal tersebut disebabkan oleh penggunaan bibit illegitimate, kurangnya informasi dan pengetahuan terhadap tata cara berkebun yang baik (Good Agricultural Practice), ketiadaan sarana dan prasarana berkebun yang memadai, serta akses pekebun ke lokasi pabrik pengolahan kelapa sawit.
`` Sumber: BPS Indonesia
  • Pendapatan merupakan salah satu indikator penting dalam analisis kesejahteraan, yang dapat dilihat secara agregasi maupun disagregasi. Dalam hal ini secara agregasi dampak diukur dengan perbandingan rata-rata pendapatan antara petani sawit dan petani non sawit. Pada beberapa lokasi sentra sawit ditemukan bahwa perkembangan perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Data juga menunjukkan bahwa pendapatan petani sawit di provinsi sentra kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan UMP tertinggi di Indonesia.
  • Peningkatan pendapatan petani sawit tersebut menyebabkan berkurangnya angka kemiskinan. Walaupun belum terjadi di seluruh propinsi sentra, tingkat kemiskinan di daerah sentra sawit lebih rendah dibandingkan daerah non sentra sawit.
`` Sumber: BPS Indonesia
  • IPM merupakan salah satu indikator yang dianggap cukup komprehensif karena tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga kesehatan dan pendidikan. Aspek ekonomi diukur dari purchasing power parity (PPP), kesehatan dari rata-rata angka harapan hidup dan pendidikan dari lama sekolah dan angka melek huruf. Sama halnya dengan pendapatan, IPM daerah sentra sawit juga lebih tinggi dibandingkan IPM daerah non sentra sawit.
`` Sumber: BPS Indonesia Industri sawit memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kesejahteraan petani dan kemajuan wilayah. Namun masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diperhatikan dan diselesaikan untuk mengoptimalkan manfaat/benefit industri sawit, diantaranya isu lahan, produktivitas, kualitas, fair-trade, sustainability dan lain-lain. Dengan demikian diperlukan kajian lebih mendalam untuk menganalisis dampak dan tantangan perkembangan industri sawit terhadap kesejahteraan dan kemajuan wilayah. Di samping itu juga perlu diidentifikasi dan dianalisis faktor-faktor strategis yang mempengaruhinya agar dapat disusun strategi untuk mengoptimalkan dampak positifnya dan menyelesaikan tantangan yang dihadapi. (SMYusa)[:]